Minggu, 25 November 2012



Habib Abdullah dilahirkan ke dunia pada malam Kamis 5 Shafar 1044 H di pinggiran kota Tarim, sebuah kota terkenal di Hadhramaut, Yaman. Beliau bermadzhab Syafi‘i. Nasabnya bersambung sampai kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib kwh, suami Fatimah binti Rasulillah.
Ayahnya, Habib Alwi bin Muhammad adalah seorang yang saleh dari keturunan orang-orang saleh.
Di masa mudanya, beliau berkunjung ke kediaman Habib Ahmad bin Muhammad Al-Habsyi Shôhibusy Syi‘ib untuk memohon doa, Habib Ahmad berkata, “Anak-anakmu adalah anak-anak kami juga, mereka diberkahi Allah.” Saat itu Habib Alwi tidak mengerti maksud ucapan Habib Ahmad. Namun, setelah menikahi Salma, cucu dari Habib Ahmad bin Muhammad, Habib Alwi baru sadar bahwa rupanya perkawinan ini yang diisyaratkan oleh Habib Ahmad bin Muhammad dalam ucapannya. Sebagaimana suaminya, Salma adalah seorang wanita yang sholihah.
istrinya ini, Habib Alwi mendapat putra-putri yang baik dan saleh, di antaranya adalah Abdullah. Ketika Abdullah berusia 4 tahun, ia terserang penyakit cacar. Demikian hebat penyakit itu hingga tidak memiliki penglihatan. Namun, musibah ini sama sekali tidak mengurangi kegigihannya dalam menuntut ilmu. Ia berhasil menghapal Quran dan menguasai berbagai ilmu agama ketika terhitung masih kanak-kanak. Rupanya Allah berkenan menggantikan penglihatan lahirnya dengan penglihatan batin, sehingga kemampuan menghapal dan daya pemahamannya sangat mengagumkan. Abdullah sejak kecil gemar beribadah dan riyâdhoh.
Nenek dan kedua orang tuanya seringkali tidak tega menyaksikan anaknya yang buta ini melakukan berbagai ibadah dan riyâdhoh. Mereka menasihati agar ia berhenti menyiksa diri. Demi menjaga perasaan keluarganya, si kecil Abdullah pun mengurangi ibadah dan riyâdhoh yang sesungguhnya amat ia gemari.
Ia pun kini memiliki lebih banyak waktu untuk bermain-main dengan teman-teman sebayanya. “Subhânallôh, sungguh indah masa kanak-kanak…,” kenang beliau suatu hari. Di kota Tarim, Abdullah tumbuh dewasa. Bekas-bekas cacar tidak tampak lagi di wajahnya. Beliau berperawakan tinggi, berdada bidang, berkulit putih, dan berwibawa. Tutur bahasanya menarik, sarat dengan mutiara ilmu dan nasihat berharga. Beliau sangat gemar menuntut ilmu. Kegemarannya ini membuatnya sering melakukan perjalanan untuk menemui kaum ulama. Beliau ra berkata, “Apa kalian kira aku mencapai ini dengan santai? Tidak tahukah kalian bahwa aku berkeliling ke seluruh kota-kota (di Hadramaut) untuk menjumpai kaum sholihin, menuntut ilmu dan mengambil berkah dari mereka?” Beliau juga sangat giat dalam mengajarkan ilmu dan mendidik murid-muridnya. Banyak penuntut ilmu datang untuk belajar kepadanya. Suatu hari beliau berkata, “Dahulu aku menuntut ilmu dari semua orang, kini semua orang menuntut ilmu dariku.” “Andaikan penghuni zaman ini mau belajar dariku, tentu akan kutulis banyak buku mengenai makna ayat-ayat Quran.
Namun, di hatiku ada beberapa ilmu yang tak kutemukan orang yang mau menimbanya.” Habib Abdullah mengamati bahwa kemajuan zaman justru membuat orang-orang saleh menyembunyikan diri; membuat mereka lebih senang menyibukkan diri dengan Allah. “Zaman dahulu keadaannya baik. “Dagangan” kaum sholihin dibutuhkan masyarakat, oleh karena itu mereka menampakkan diri. Zaman ini telah rusak, masyarakat tidak membutuhkan “dagangan” mereka, karena itu mereka pun enggan menampakkan diri,” papar beliau. Beliau sangat menyayangi kaum fakir miskin. “Andaikan aku kuasa dan mampu, tentu akan kupenuhi kebutuhan semua kaum fakir miskin. Sebab pada awalnya, agama ini ditegakkan oleh orang-orang mukmin yang lemah.” Beliau juga berkata, “Dengan sesuap (makanan) tertolaklah berbagai bencana.” Beliau gemar berdakwah, baik dengan lisan maupun tulisan, kemudian mencontohkannya dalam amal perbuatan. Kegemarannya berdakwah menyebabkan ia banyak bergaul dan melakukan perjalanan. “Sesungguhnya aku tidak ingin bercakap-cakap dengan masyarakat, aku juga tidak menyukai pembicaraan mereka, dan tidak peduli kepada siapa pun dari mereka. Sudah menjadi tabiat dan watakku bahwa aku tidak menyukai kemegahan dan kemasyhuran. Aku lebih suka berkelana di gurun Sahara.
Itulah keinginanku; itulah yang kudambakan. Namun, aku menahan diri tidak melaksanakan keinginanku agar masyarakat dapat mengambil manfaat dariku.” Keaktifannya dalam mendidik dan berdakwah membuatnya digelari Quthbud Da’wah wal Irsyâd. Beliau berkata, “Ajaklah orang awam kepada syariat dengan bahasa syariat; ajaklah ahli syariat kepada tarekat (thorîqoh) dengan bahasa tarekat; ajaklah ahli tarekat kepada hakikat (haqîqoh) dengan bahasa hakikat; ajaklah ahli hakikat kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq, dan ajaklah ahlul haq kepada Al-Haq dengan bahasa Al-Haq.” Dalam kehidupannya, beliau juga sering mendapat gangguan dari masyarakat lingkungannya. “Kebanyakan orang jika tertimpa musibah penyakit atau lainnya, mereka tabah dan sabar; sadar bahwa itu adalah qodho dan qodar Allah. Tetapi jika diganggu orang, mereka sangat marah. Mereka lupa, bahwa gangguan-ganguan itu sebenarnya juga merupakan qodho dan qodar Allah, mereka lupa bahwa sesungguhnya Allah hendak menguji dan menyucikan jiwa mereka.
Nabi saw bersabda, “Besarnya pahala tergantung pada beratnya ujian. Jika Allah mencintai suatu kaum, Ia akan menguji mereka. Barang siapa ridho, ia akan memperoleh keridhoan-Nya; barang siapa tidak ridho, Allah akan murka kepadanya.” Habib Abdullah mengetahui bahwa ada beberapa orang yang memakan hidangannya, tetapi juga memakinya. “Perbuatan mereka tidak mempengaruhi sikapku.
Aku tidak marah kepada mereka, bahkan mereka kudoakan.” Habib Abdullah tidak pernah menyakiti hati orang lain, apabila beliau terpaksa harus bersikap tegas, beliau kemudian segera menghibur dan memberikan hadiah kepada orang yang ditegurnya. “Aku tak pernah melewatkan pagi dan sore dalam keadaan benci atau iri pada seseorang,” kata Habib Abdullah. Beliau lebih suka berpegang pada hadis Nabi saw: “Orang beriman yang bergaul dengan masyarakat dan sabar menanggung gangguannya, lebih baik daripada orang yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar menghadapi gangguannya.” Beliau menulis dalam syairnya: Bila Allah mengujimu, bersabarlah karena itu hak-Nya atas dirimu.
Dan bila Ia memberimu nikmat, bersyukurlah. Siapa pun mengenal dunia, pasti akan yakin bahwa dunia tak syak lagi adalah tempat kesengsaraan dan kesulitan. Habib Abdullah tidak menyukai kemasyhuran atau kemegahan, beliau juga tidak suka dipuji. “Banyak orang membuat syair-syair untuk memujiku. Sesungguhnya aku hendak mencegah mereka, tetapi aku khawatir tidak ikhlas dalam berbuat demikian. Jadi, kubiarkan mereka berbuat sekehendaknya. Dalam hal ini aku lebih suka meneladani Nabi saw, karena beliau pun tidak melarang ketika sahabatnya membacakan syair-syair pujian kepadanya.” Suatu hari beliau berkata kepada orang yang melantunkan qoshidah pujian untuk beliau, “Aku tidak keberatan dengan semua pujian ini. Yang ada padaku telah kucurahkan ke dalam samudra Muhammad saw.
Sebab, beliau adalah sumber semua keutamaan, dan beliaulah yang berhak menerima semua pujian. Jadi, jika sepeninggal beliau ada manusia yang layak dipuji, maka sesungguhnya pujian itu kembali kepadanya. Adapun setan, ia adalah sumber segala keburukan dan kehinaan. Karena itu setiap kecaman dan celaan terhadap keburukan akan terpulang kepadanya, sebab setanlah penyebab pertama terjadinya keburukan dan kehinaan.” Beliau tak pernah bergantung pada makhluk dan selalu mencukupkan diri hanya dengan Allah. “Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan karunia Allah.
Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanan-Nya.” Beliau juga berkata, “Aku tidak melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah. Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku, karena aku menganggap orang itu hanyalah perantara saja.” Karya dan Kata Mutiara Meski buta dan sangat sibuk berdakwah, beliau masih sempat menulis buku-buku berikut:
01. An-Nashôihud Dîniyyah
02. Ad-Da’watut Tâmmah
03. Risâlatul Mu’âwanah
04. Al-Fushûlul ‘Ilmiyyah
05. Sabîlul Iddikâr
06. Risâlatul Mudzâkarah
07. Risâlatul Murîd
08. Kitâbul Hikam
09. An-Nafâisul Uluwiyyah
10. Ithâfus Sâil
Karya-karya beliau sarat dengan inti sari ilmu syariat, adab Islami dan tarekat, penjabaran ilmu hakikat, menggunakan ibarat yang jelas dan tata bahasa yang memikat.
Semuanya ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami. Berisi ajaran tasawuf murni. “Aku mencoba menyusunnya dengan ungkapan yang mudah, supaya dekat dengan pemahaman masyarakat, lalu kugunakan kata-kata yang ringan, supaya segera dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh kaum khusus maupun awam.” Beliau selalu bersungguh-sungguh dalam beribadah.Senantiasa menyertakan amal di samping ilmunya. Pada masa bidâyah-nya (permulaannya ) setiap malam beliau mengunjungi seluruh mesjid di kota Tarim untuk beribadah. Salah seorang yang tinggal berdampingan dengan mesjid tempat beliau ra biasa salat mengatakan, “Setiap malam, ketika penduduk kota ini telah lelap dalam tidurnya, aku selalu mendapati beliau berjalan ke mesjid.” Sahabat beliau menceritakan, “Suatu hari aku berziarah bersama beliau ke makam Nabiyullôh Hud as. Malam itu seekor kalajengking menyengatku sehingga aku terjaga semalaman. Aku amati malam itu beliau tidak tidur, asyik beribadah sepanjang malam. Waktu kutanyakan hal itu, beliau menjawab bahwa telah tiga puluh tahun lamanya beliau berbuat demikian. Meskipun Habib Abdullah amat gemar beribadah, beliau tidak suka menceritakan atau memperlihatkan amalnya, kecuali bila keadaan sangat memaksa dan ia ingin agar amal salehnya itu diteladani. Beliau berkata, “Aku sengaja tidak memperlihatkan amal ibadahku, meskipun — alhamdulillâh — aku tidak khawatir terkena riya`. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan oleh Ash-Shiddîq (Nabi Yusuf as): “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena nafsu itu selalu mengajak berbuat kejahatan…” Seseorang pernah menggambarkan kedudukan beliau dalam dunia tasawuf dengan ungkapan yang indah, yaitu: Dalam dunia tasawuf Imam Al-Ghazali ibarat pemintal kain, Imam Sya’rani ibarat tukang potong dan Sayid Abdullah bin Alwi Al-Haddad adalah penjahitnya.” Penganut Madzhab Syafi‘i, khususnya di Yaman, berkeyakinan bahwa Habib Abdullah Al-Haddad adalah mujaddid (pembaharu) abad 11 H, pendapat ini difatwakan oleh Ibnu Ziyad, seorang ahli fiqih terkemuka di Yaman yang fatwa-fatwanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh fiqih seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Ramli. Beliau ra merumuskan bacaan dzikir yang dinamainya wirid Al-Lathîf. Wirid ini telah tersebar hampir ke seluruh penjuru Dunia: Mekah, Madinah, Hijaz, Afrika, Indonesia, Malaysia, Eropa, Amerika dll.
Di Indonesia, wirid ini nyaris menjadi bacaan yang diwajibkan oleh guru-guru pesantren. Tidak sedikit dari mereka yang enggan beranjak dari tempat duduknya setelah salat Subuh, sebelum menyelesaikan wirid ini. Wirid ini hampir menjadi bacaan resmi umat Islam di pagi hari. Wiridnya yang lain, yang juga tak kalah masyhurnya, adalah Ratib Haddad.
Demikianlah Habib Abdullah Al-Haddad menghabiskan umurnya. Beliau menuntut ilmu dan mengajarkan; berdakwah dan mencontohkan. Sampai akhirnya pada Selasa sore, 7 Dzulqaidah 1132 H di kota Tarim ini juga, beliau ra kembali menghadap Yang Kuasa, meninggalkan banyak murid, karya dan nama harum di dunia.
Di kota itu pula, di pemakaman Zanbal, beliau ra dimakamkan. Semoga Allah memberinya kedudukan yang mulia di sisi-Nya dan memberi kita manfaat yang banyak dari ilmu-ilmunya.
Comments
6 Comments

6 komentar:

  1. Balasan
    1. Bang omang brangkat Ke mana ikut dong..
      Bdw artikel diatas nya gmna nie..

      Hapus
    2. wkwkwkwkw..Mas dhani..Antum tertarik Ama Artilkel??
      Ikutin Aja Terus Pergembangan nya Semoga Membawa Manfaat ya!!!..

      Hapus

TERIMA KASIH ATAS KOMENTAR DAN KUNJUNGAN ANDA